Oleh: Muhammad Afdillah, S.Th.I, M.Si*
Abstract
This paper is meant to scrutinize historically the Agami Jawi whose belief system is based on syncretism between Syiva-Buddhist and Islam traditions. Agami Jawi is well-known religion and cultural system that hold on challenges of Hindus, Buddhists, and Muslims who occupy Java Island since fourth century. The religion has been successful to elaborate such local forms of ancestor worship, and the belief in spirits, magical power in natural phenomena, and sacred object in the human environment with Syiva-Buddha and Islam belief systems. Though schools of this religion in the Indonesian modern slowly decrease after they reached their glory at 1960s, it’s almost Javanese people are syncretistic, incorporating Muslim, Hindu, Buddhist, and local religious elements.
Keywords: agami Jawi, syncretism, lair-batin, slametan, Javanese religious movement
Pendahuluan
Artikel ini mencoba untuk membaca secara historis fenomena keberagamaan orang-orang Jawa yang tetap eksis meski harus berhadapan dengan agama-agama di sekitarnya. Kekuatan budaya Jawa terletak pada sifatnya yang terbuka terhadap budaya asing yang masuk di dalamnya. Mulder mengamini hal ini, bahwa budaya Jawa memiliki kekuatan dan kemampuan integritas untuk menemukan jalan dan menyesuaikan diri dengan dunia baru dan dengan perubahan sosial.[1]
Kekuatan istimewa tersebut adalah kemampuan budaya Jawa untuk tetap bertahan, meski dibanjiri oleh gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Dalam arus banjir tersebut ia mempertahankan keasliannya. Orang Jawa sangat sadar serta bangga dengan kontiyuitas kebudayaan mereka. Kebanggaan ini begitu mendarah daging, sehingga hampir semua bisa ditolerir, asalkan dapat diadaptasi dan diterangkan dari sudut pandang Jawa.[2] Mereka tidak menganggap bahwa budaya-budaya baru yang masuk di tanah mereka sebagai ancaman, melainkan sebagai pengkayaan khazanah kebudayaan Jawa itu sendiri.
Budaya yang akomodatif menjadikan Jawa begitu “ramah” bagi agama-agama baru yang mendatanginya. Namun demikian, lima agama yang masuk di tanah Jawa – Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik – tidak dapat menancapkan “kuku-kukunya” secara menyeluruh dan konsisten,[3] dan yang terjadi adalah proses sinkretisme antara agama-agama tersebut dengan budaya Jawa; masing-masing agama mempengaruhi budaya Jawa dan demikian sebaliknya.
Perjalanan panjang sinkretisme antara budaya Jawa dan agama-agama pendatang pada fase selanjutnya menciptakan varian keagamaan yang bernama agami Jawi. Agama ini merupakan hasil dari proses sinkretisme antara Islam, Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal. Selain itu, muncul pula varian keagamaan Islam Santri yang lebih condong kepada dogma dan purifikasi agama Islam.[4] Varian terakhir ini tidak akan dibahas dalam artikel ini.
Sejarah Agami Jawi
Agama Jawi tidak muncul dari ruang hampa, melainkan lahir melalui proses sejarah panjang masyarakat Jawa itu sendiri. Pada masa awal, sebelum menerima pengaruh dari kebudayaan dan agama Hindu, suku Jawa mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme; memuja roh nenek moyang, percaya adanya kekuatan gaib atau daya magis yang terdapat pada benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, atau pada objek di sekeliling mereka yang dianggap sakral.[5] Dalam pandangan Simuh, kepercayaan dan pemujaan seperti tersebut di atas, belum termanifestasikan dalam bentuk agama secara nyata dan sadar.[6] Hindu, yang masuk ke tanah Jawa pada abad empat, merupakan agama yang bersentuhan pertama kali dengan budaya Jawa, meski kebudayaan Hindu-Jawa baru tampak pada abad VIII. Kedatangan agama Buddha yang dibawa oleh Dinasti Syailendra dari Sumatra pada abad yang sama turut pula memperkaya khazanah keberagamaan masyarakat Jawa pada masa tersebut.[7]
Kedua agama tersebut, yang di tempat asalnya selalu berseteru, “didamaikan” oleh kebudayaan Jawa yang terbuka. Berdirinya Candi Prambanan oleh pemeluk agama Hindu dan Candi Borobudur oleh umat Buddha yang berdampingan menunjukkan bahwa masyarakat Jawa mampu “menaklukkan” kedua pemeluk agama tersebut untuk hidup rukun dan damai dalam nilai-nilai budaya Jawa.[8] Bahkan pada masa kerajaan Majapahit, kebudayaan Jawa mampu menghilangkan perbedaan antara Buddhisme dan (Hindu-)Siwaisme dan menciptakan agama resmi baru yang bersifat sinkretis, agama Siwa-Buddha. Dalam pandangan Jawa, Siwaisme dan Buddhisme adalah bentuk ungkapan yang berbeda dari realitas yang sama, yang pada hakikatnya identik.[9]
Selain pola sinkretisasi Jawa-Hindu-Buddha di atas, unsur-unsur Jawa juga terlihat dominan atas ajaran dan budaya Hindu-Buddha. Franz Magnis-Suseno mencatat empat proses Jawaisasi agama Hindu dan Buddha dalam beberapa perubahan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa terhadap ritual, ritus dan budaya agama Hindu dan Buddha.[10] Pertama, perubahan fungsi candi-candi yang ada, selain sebagai tempat peribadatan, juga sebagai kuburan para raja (baca: nenek moyang) yang telah meninggal. Sebagai perumpamaan, candi Borobudur yang didirikan oleh umat Buddha Mahayana selain sebagai tempat ibadah, juga digunakan sebagai tempat pemakaman Raja Syailendra. Demikian halnya candi Larajonggrang yang dijadikan pemakaman raja-raja Mataram yang beragama Hindu.
Kedua, proses sinkretisasi agama Hindu dan Buddha oleh masyarakat Jawa adalah bentuk usaha Jawa untuk mempersatukan hal-hal yang berbeda, mengukuhkan relativisme atas perbedaan-perbedaan formal, dan mempertemukan ajaran-ajaran yang substantif serta menolak setiap ajaran keagamaan yang eksklusif. Ketiga, distorsi praktek ritual Hindu-Buddha menyesuaikan dengan budaya Jawa, yakni ritual keagamaan yang ada harus bisa mencapai kesaktian para raja dengan jalan memperoleh baik kesaktian Siwa maupun Buddha dan menambahkannya pada dewa-dewa yang sudah diwariskan dari nenek moyangnya sendiri. Dan keempat, penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa kuno.[11]
Kisah berlanjut. Islam datang ke tanah Jawa melalui jalur perdagangan laut dari Sumatra dan Samudra Pasai.[12] Kelompok Islam yang berdagang ke tanah Jawa tersebut berasal dari Gujarat di India yang memiliki pola keagamaan yang sufistik.[13] Posisi mereka diuntungkan dengan kondisi penduduk pesisir pantai pada masa itu yang sangat bergantung pada perdagangan internasional, sehingga dengan menerima Islam dapat mempertahankan para pedagang Muslim agar mereka tidak pindah ke daerah lain. Jika penguasa lokal tersebut memeluk agama Islam, sedikit banyak akan menerapkan ajaran Islam, khususnya dalam bidang perekonomian.[14]
Namun demikian, tingkat penerimaan ajaran Islam bergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya, tetapi juga pada watak budaya lokal yang dihadapi Islam. Di daerah pesisir pantai pada umumnya memiliki budaya maritim dan sangat terbuka terhadap kehidupan kosmopolitan, Islam dapat diterima lebih mudah dan dalam daripada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih tertutup.[15]
Adalah Sunan Kalijaga, satu dari sembilan walisanga – para penyebar Islam di Jawa, dipercaya sebagai orang yang mampu mensinkretiskan (baca: mengakulturasikan) Islam ke dalam budaya Jawa sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Pada masa itu, Islamisasi dilakukan terhadap beberapa bentuk ritus dan festival rakyat, seperti jimat kalimasada (kalimah shaha>datain), penggunaan istilah gapura (Arab, ghafura) untuk pintu gerbang candi yang diubah menjadi masjid, dst.[16]
Agami Jawi
Ajaran Ketuhanan
Pandangan dunia Jawa berpijak pada pemahaman pembedaan antara dua fundamental realitas, yaitu segi lahir (lair) dan segi batin (batin).[17] Sebagai makhluk alam, manusia merupakan makhluk jasmani, ia memiliki dimensi lahir dan kita mengerti orang lain pertama-tama melalui lair-nya. Tetapi di balik lahirnya itu terselubung batinnya.[18] Dunia lahir “mengikat” manusia dalam fenomena alam dan bentuk-bentuk materi dan segala sesuatu yang bisa di-rasa, suksma, dan urip. Kemampuan manusia untuk menguasai unsur lahirnya, dapat membantu mereka untuk mencapai kebenaran yang tersembunyi (batin) dan esensi dari kehidupan.[19] Pembedaan antara lahir dan batin juga dapat merujuk pada dikotomi alus dan kasar. Batin, kenyataan dalam manusia, secara hakiki bersifat alus. Lair, alam luar, adalah kasar. Semakin unggul segi batin pada sebuah benda atau manusia, makin ia nampak halus. Dan sebaliknya, segala manifestasi yang kasar memperlihatkan bahwa orang itu terikat pada alam lahir.[20]
Mulder menambahkan bahwa inti penting dari Agami Jawi adalah kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan batin dan diri yang terdalam seseorang.[21] Kesadaran bahwa batin adalah kenyataan yang sebenarnya terungkap dalam spekulasi tentang makrokosmos (jagad gedhé) dan mikrokosmos (jagad cilik). Gerak diri harus mengalir dari luar ke bagian dalam, dari penguasaan yang lahir ke pengembangan yang batin, dari menjadi sungguh-sungguh sadar terhadap situasi sosial sampai menjadi peka terhadap kehadiran “kehidupan” dan perwujudan “kehidupan” itu di dalam batin.[22]
Apabila manusia sampai pada batin sendiri, maka ia tidak hanya mencapai kenyataannya sendiri, melainkan kenyataan Yang Ilahi karena jiwa manusia (suksma) merupakan dasar batin manusia, ungkapan jiwa Ilahi yang menyeluruh (Hyang Suksma).[23] Tujuan tertinggi dari spiritualitas agami Jawi adalah persatuan hamba dengan Tuhan (manunggaling kawula gusti), yang dicapai melalui praktik kebatinan, yakni usaha yang terpusat-pada-diri yang meletakkan diri di dalam, yaitu Aku (Ingsun sejati) pada pusat dari segala penilaian.[24]
Dalam penelitiannya tentang Serat Wirid Hidayat Jati karangan Raden Ngabehi Ranggawarsita, Simuh menjelaskan:
“...bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu, harus berusaha untuk dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia dengan Tuhan di dunia bisa dicapai melalui penghayatan mistis,... Akan tetapi kesatuan yang sempurna antara manusia dengan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya masa ajal atau maut. Manusia yang sanggup mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskitha dan menjadi manusia yang sempurna hidupnya. Yaitu orang yang tingkah-lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Lantaran Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan segara rasa, serta berbuat mempergunakan tubuh manusia. Dalam keadaan kesatuan seperti itu manusia berhak mengakui sebagai Tuhan. Karena Tuhanlah yang berbicara mempergunakan mulutnya.[25]
Pengaruh Islam juga masuk dalam konsep ketuhanan agami Jawi yang tampak pada penyebutan istilah-istilah teologis seperti gusti Allah (namun diucapkan dalam dialek Jawa), kanjeng nabi Muhammad, dan juga para ambiya. Penganut agami Jawi juga menganggap bahwa gusti Allah juga Pencipta alam semesta. Mereka meyakini bahwa tiada tuhan selain Tuhan itu sendiri (La> ila>ha illa-Lla>h, gusti Allah ingkang Maha Esa), dan mengucapkan bismi-Lla>h sebelum memberikan keputusan penting.[26]
Meski demikian, kebudayaan Jawa kuno yang animistis dan dinamistis tidak bisa dihilangkan begitu saja. Bahkan tradisi tersebut memberikan warna tersendiri bagi keagamaan Islam, Hindu dan Buddha. Banyak tokoh-tokoh muslim dan masyarakat seperti walisanga, kyai, dhalang, ataupun dhukun yang dilabeli “orang suci” meski mereka masih hidup. Dan ketika meninggal dunia, makam mereka menjadi pepundhen dan menjadi objek ziarah kubur. Demikian hal yang sama terjadi pada ajaran asli Hindu-Buddha. Banyak dewa-dewa yang diubah “perannya” oleh orang Jawa, seperti Dewi Sri, istri dari Dewa Wisnu, berubah menjadi Dewi Kesuburan Tanah.[27]
Secara umum, Koentjaraningrat mencatat bahwa kepercayaan agami Jawi asli mencakup kepercayaan terhadap ruh leluhur, lelembut, setan, denawa, memedi, widadari, dan thuyul. Adapun ajaran tentang kosmogoni (kang dumadi), kosmologi (bawanagung), eskatologi (akhiring jaman), dan ratu adil berasal ajaran Hindu-Buddha; dan konsep tentang kematian dan hidup sesudah mati (akherat) dipengaruhi oleh ajaran Islam.[28] Karenanya, menurut Mulder, orang Jawa menganggap bahwa ritual formal agama Hindu, Buddha dan Islam adalah ritual pribadi seseorang untuk menghadap Tuhannya. Sebagai bentuk konsekuensi dari anggapan ini, ajaran agami Jawi lebih menekankan pada kebaikan kehidupan manusia di dunia dengan berbagai dimensinya daripada ajaran eskatologi itu sendiri.[29]
Ritus Religius Agami Jawi
Sistem ritual dan seremoni keagamaan Jawi sangat berbeda dengan dogma agama Hindu, Buddha ataupun Islam. Penganut agami Jawi menilai bahwa sholat limat waktu, puasa Ramadlan, atau berdoa di kuil bukanlah hal yang penting untuk dilakukan. Mereka seringkali meninggalkan ritual-ritual resmi tersebut.[30]
Ritus religius sentral orang Jawa adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana.[31] Tuan rumah mengundang para tetangga, kawan, dan tokoh agama dan masyarakat. Makanan yang dihidangkan diletakkan di depan para tamu undangan untuk di-berkati oleh tokoh agama dengan mengutip beberapa ayat al-Qur’an, doa-doa berbahasa Arab dan Jawa. Biasanya, slametan juga diisi dengan dhikr, pembacaan frase La> ila>ha illa-Lla>h secara terus menerus tanpa putus juga oleh tokoh agama dan diikuti oleh para tamu.[32]
Besar-kecilnya biaya, sedikit-banyaknya undangan yang hadir dan perlengkapan yang digunakan dalam slametan tergantung pada tingkat urgensi hajatan yang digelar dan kemampuan finansial si empu hajat. Diantara banyaknya ritual slametan yang ada, hajatan pernikahan dan doa untuk orang yang telah meninggal dunia adalah bentuk ritual yang paling penting. Adapun waktu penyelenggaraan slametan tergantung pada keseharian masyarakat di suatu wilayah tersebut. Di masyarakat petani, slametan biasanya digelar pada masa pra-cocok tanam dan pascapanen. Sedangkan di masyarakat muslim Jawa, slametan biasanya diadakan pada saat peringatan hari-hari besar Islam. Slametan dapat diadakan untuk tolak bala’, keselamatan seseorang yang akan melakukan perjalanan jauh, dsb.[33]
Slametan mempunyai makna penting dalam agama Jawi. Ia mengungkap nilai-nilai luhur dalam masyarakat Jawa, yaitu kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Selain itu, slametan juga menimbulkan suatu perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi seperti lurah, pegawai pemerintah dari kota, dan orang-orang yang lebih tua. Nilai-nilai ini, lebih lanjut, berkembang pada wilayah yang lebih luas. Sebagai contoh, dalam sistem kekerabatan Jawa, keturunan dari ibu dan ayah dianggap sama haknya, dan warisan anak perempuan sama dengan warisan anak laki-laki.[34]
Selain itu, praktek keagamaan Jawi yang juga penting adalah nyekar dan sajen. Ritual pertama adalah bentuk penghormatan kepada ruh leluhur dan orang-orang yang telah meninggal dengan berziarah ke kuburan mereka. Sedangkan kedua adalah makanan berupa nasi contong, ayam, dan telur yang dihidangkan di atas bambu yang dibelah. Adapun ritual-ritual yang lain secara umum adalah tirakat, tapabrata, samadi, dan pertunjukan wayang.[35]
Perkembangan Agami Jawi
Pengamalan ritual-ritual keagamaan yang telah dipaparkan di atas, mendorong penganut agami Jawi untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang esensi kehidupan dan keberlansungan spiritualitas mereka. Kesadaran ini kemudian memunculkan ide tentang keharusan adanya gerakan (atau kelompok) spiritual kebatinan kejawen.[36]
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, muncul puluhan bahkan ratusan gerakan dan ajaran mistik (baca: “agama”) baru atau aliran-aliran baru dalam agama-agama lama. Meski ditentang oleh beberapa kalangan, jumlah mereka dari tahun ke tahun semakin bertambah. Pada tahun 1951, Departemen Agama RI menyusun “Daftar Aliran-aliran, Keyakinan dan Kepercayaan diluar Agama Islam, Kristen-Protenstan, dan Katolik,” mencatat adanya 73 aliran. Jumlah tersebut berkembang menjadi 142 pada saat diselenggarakannya Kongres Kebatinan tahun 1959. Angka tersebut mencapai 300-an organisasi pada tahun 1960-an.[37]
Aliran-aliran tersebut di atas sempat merepotkan Departemen Agama RI pada masa itu karena tuntutan mereka untuk diakui sebagai agama. Usaha-usaha yang pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung) untuk menghalangi niat pengikut aliran-aliran tersebut cukup menggelikan penulis. Pemerintah mengajukan syarat-syarat sah untuk mengesahkan suatu agama adalah usia aliran tersebut minimal satu abad dan jumlah umat penganutnya di dalam negeri harus meliputi daerah tingkat I dan II serta adanya pengakuan dari luar negeri dan sebagainya.[38]
Selain itu, pemerintah mendirikan badan inter-departemen yang diberi nama PAKEM (Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat). Tugas dari badan ini adalah memperketat dan mempersempit gerakan aliran-aliran di luar agama resmi negara, dan, jika diperlukan, dapat membubarkan aliran yang sudah ada.[39] Langkah pemerintah ini bisa dikatakan berhasil karena jumlah kelompok kebatinan semakin menurun jumlahnya. Terbukti pada tahun 1970, di kota-kota besar hanya terdapat 151 aliran, meski kemudian pada tahun 1972 aliran-aliran lain muncul kembali dan berada pada angka 217 aliran di tingkat pusat dan 427 di daerah (149 aliran di Jawa Tengah, 105 di Jawa Timur, 39 di Daerah Istimewa Yogyakarta, 69 di Jawa Barat, 96 di Sumatra, 20 di Sulawesi dan seterusnya). Angka-angka ini dipercaya masih bisa naik turun mengingat tidak semua aliran melakukan pendaftaran resmi.[40]
Kesimpulan
Agami Jawi merupakan hasil proses panjang dialektika sinkretis antara Jawa, Hindu-Buddha, dan Islam. Dalam agami Jawi, unsur-unsur Jawa dalam agama Hindu-Buddha dan Islam sangat menonjol. Ada empat proses Jawaisasi agama dan kebudayaan Hindu-Buddha, yaitu: 1) perubahan fungsi candi selain sebagai tempat peribadatan juga sebagai kuburan para raja; 2) pengukuhan relativisme atas perbedaan-perbedaan formal antara agama Hindu dan Buddha sehingga menghasilkan agama Siwa-Buddha; 3) distorsi praktek ritual Hinddu-Buddha secara pragmatis untuk kepentingan para raja Jawa; dan 4) penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa kuno.
Sistem ketuhanan agami Jawi bertolak pada dikotomi lahir (lair) dan batin (batin). Kemampuan seseorang untuk mengolah lair-nya dapat membantu dirinya untuk mencapai kebenaran yang tersembunyi (batin) dan esensi dari kehidupan. Tujuan utama dari ritual keagamaan Jawi adalah untuk menyatukan hamba dengan Tuhannya (manunggaling kawula Gusti). Kepercayaan agami Jawi asli mencakup kepercayaan kepada ruh leluhur, lelembut, setan, denawa, memedi, widadari, dan thuyul. Adapun pengaruh Hindu-Buddha terdapat pada ajaran kosmogoni (kang dumadi), kosmologi (bawanagung), eskatologi (akhiring jaman), dan ratu adil; dan pengaruh agama Islam pada konsepsi kematian dan hidup sesudah mati (akherat)
Adapun ritus keagamaan Jawi terpusat pada slametan. Dengan slametan, orang Jawa dapat belajar arti kebersamaan, ketetanggaan, kerukunan, dan persamaan derajat. Selain itu, ritual yang juga penting dalam agami Jawi adalah nyekar, sajen, tirakat, tapabrata, samadi, dan pertunjukan wayang.
Keberadaan agami Jawi di Indonesia pada masa modern mengalami pasang-surut dan bahkan cenderung habis. Kebijakan pemerintah kurang mendukung eksistensi mereka; aliran-aliran yang muncul di beberapa wilayah di Indonesia dan adanya tuntutan untuk diakui sebagai agama ditanggapi dingin dan bahkan pemerintah meresponnya dengan mendirikan badan inter-departemental bernama PAKEM (Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat) yang bertugas selain mengawasi dan mempersempit gerakan aliran-aliran tersebut, juga dapat membubarkan aliran yang dianggap meresahkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Penerbit Mizan, 2002
Bakker, J.W.M. Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat, 1976
Beatty, Andrew. Varieties of Javanese Religion; an Anthropological Account, New York: Cambridge Univesity Press, 1999
Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2004
Kartapradja, Kamil. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Masagung, 1985
Koentjaraningrat, R.M. “Javanese Religion,” dalam Lindsay Jones (ed.), Encyclopedia of Religion, second edition, book 7 (Farmington, Hills: Macmillan Reference of USA, 2005) 4815-4819
Mulder, Niels. Individual and Society in Java; a Cultural Analysis, second revised edition, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992
Mulder, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Jakarta: Gramedia, 1984
Reichle, Natasha. Violence and Serenity; Late Buddhist Sculpture from Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2007
Roqib, Moh. Akomodatif terhadap Budaya Lokal; Studi tentang Dialektika Budaya Jawa dengan Islam, dalam Ibda’ Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2008 (P3M STAIN Purwokerto) 110-131
Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988
Subagya, Rahmat. Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan, dan Agama, cet. Ke-5, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1984
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, cet. Ke-8, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2001
Woodward, Mark R. Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS, Yogyakarta: Penerbit LKiS bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1999
Woodward, Mark R. Java, Indonesia, and Islam, Muslims in Global Societies Series 3, London: Springer, 2011
________________________________________
* Penulis adalah dosen Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
[1] Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (Jakarta: Gramedia, 1984) 11
[2] Ibid.; bdk. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2004) 51
[3] J.W.M. Bakker, Agama Asli Indonesia (Yogyakarta: Puskat, 1976) 217-218
[4] R.M. Koentjaraningrat, “Javanese Religion,” dalam Lindsay Jones, et.al (eds.), Encyclopedia of Religion, second edition, book 7 (Farmington, Hills: Macmillan Reference of USA, 2005) 4815-4816
[5] Ibid.; Bdk. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1988) 1
[6] Ibid.
[7] Koentjaraningrat, Javanese, 4816; Franz Magnis-Suseno mencatat bahwa peradaban Hindu mencapai kejayaannya pada abad VI dan VII dengan berdirinya kerajaan Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Sedangkan, pada abad VIII, Kerajaan Hindu-Jawa mulai tergeser oleh Dinasti Syailendra dari Sumatra yang beragama Buddha. Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, cet. Ke-8 (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2001) 23
[8] Koentjaraningrat, Javanese, 4816; Pendapat berbeda diutarakan oleh Reichle, bahwa selain sebuah bentuk kehidupan yang damai antara kedua pemeluk agama, pendirian candi-candi Hindu dan Buddha secara berdampingan menunjukkan persaingan yang kuat antara kedua untuk menambah penganut baru. Selain itu, adalah suatu hal mustahil seandainya seorang raja (baik yang beragama Hindu maupun Buddha) mendukung kedua agama secara bersamaan, atau mendukung salah satu agama saja. Bdk. Natasha Reichle, Violence and Serenity; Late Buddhist Sculpture from Indonesia (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2007) 21
[9] Magnis-Suseno, Etika Jawa, 27
[10] Ibid., 24-25
[11] Simuh mencatat bahwa mereka yang mempunyai andil besar dalam peralihan bahasa dari Sanskerta ke Jawa Kuno adalah para cendekiawan pada masa itu. Mereka melakukan transliterasi buku-buku, ajaran, ritual dan ritus Hindu-Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa untuk kemudian digunakan dalam upacara-upacaya keagamaan dan kerajaan. Perubahan penggunaan bahasa tulis dan lisan ini sangat berpengaruh besar pada pertumbuhan dan perkembangan kepustakaan Jawa pada masa selanjutnya. Lht. Simuh, Mistik, 1
[12] Koentjaraningrat, Javanese, 4816; Azyumardi Azra menekankan rumitnya menentukan sejarah awal Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia. Hal ini disebabkan oleh minimnya data pendukung untuk merekonstruksi suatu sejarah yang bisa dipercaya (reliable). Namun demikian, banyak pendapat sejarahwan bahwa Islam datang ke Indonesia antara abad 13 hingga 17. Bdk. Azyumardi Azra, Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Penerbit Mizan, 2002) 17; Mark R. Woodward, Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: Penerbit LKiS bekerja sama dengan The Asia Foundation, 1999) 79-88; dan Magnis-Suseno, Etika Jawa, 31
[13] Ibid., 32
[14] Azra, Islam Nusantara, 19
[15] Ibid.
[16] Moh. Roqib, “Akomodatif terhadap Budaya Lokal; Studi tentang Dialektika Budaya Jawa dengan Islam”, dalam Ibda’ Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 6 No. 1, Januari-Juni 2008 (P3M STAIN Purwokerto) 110-131
[17] Handayani dan Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 51; Bdk. Magnis-Suseno, Etika Jawa, 117; dan Niels Mulder, Individual and Society in Java; a Cultural Analysis, second revised edition (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992) 6
[18] Magnis-Suseno, Etika Jawa, 117; dan dalam Handayani dan Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 51
[19] Mulder, Individual, 6
[20] Magnis-Suseno, Etika Jawa, 117
[21] dalam Handayani dan Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 52; bdk. Mulder, Individual, 6
[22] Magnis-Suseno, Etika Jawa, 118; bdk. Handayani dan Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 52
[23] Magnis-Suseno, Etika Jawa, 119
[24] Handayani dan Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 53
[25] Simuh, Mistik, 282
[26] Koentjaraningrat, Javanese Religion, 4816
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Mulder, Individual, 9
[30] Kontjaraningrat, Javanese Religion, 4817
[31] Definisi dan perdebatan para ilmuwan tentang slametan lebih jelas dapat merujuk pada Mark R. Woodward, Java, Indonesia, and Islam, Muslims in Global Societies Series 3 (London: Springer, 2011) 113-118
[32] Ibid.; bdk. Woodward, Java, 113; dan Magnis-Suseno, Etika Jawa, 15; untuk proses ritual slametan secara lengkap dapat merujuk pada Andrew Beatty, Varieties of Javanese Religion; an Anthropological Account (New York: Cambridge Univesity Press, 1999) 31-33
[33] Koentjaraningrat, Javanese Religion, 4817
[34] Magnis-Suseno, Etika Jawa, 15-16
[35] Koentjaraningrat, Javanese Religion, 4817
[36] Ibid.
[37] Rahmat Subagya, Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan, dan Agama, cet. Ke-5 (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1984) 9
[38] Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985) 66
[39] Ibid., 67
[40] Subagya, Kepercayaan, 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar